Terbitan

Judi Online: Fenomena Pandemi Digital

  • Penerbit KEDAULATAN RAKYAT
  • Tanggal Terbitan 28-06-2024
Judi Online: Fenomena Pandemi Digital

Judi Online: Fenomena Pandemi Digital

 

Oleh                                                               : Bagas Triaji, S.Kom., M.Kom.
Dosen Prodi                                                 : Rekayasa Perangkat Lunak UTDI
Bidang Penelitian dan Keminatan         : Big data, Business Intelligence  


Ketika mendengar kata pandemi, tentu kita masih melekat di ingatan empat tahun yang lalu. Bahkan terkadang ada rasa trauma jika mengingatnya. Jelas saja, begitu dahsyatnya sebuah virus dengan nama populer Covid-19 yang merugikan dari segi kesehatan, sosial maupun perekonomian kita. Jika kita melihat karakteristik pandemi secara umum sebuah penyakit disebut pandemi atau wabah ialah memiliki skala penyebaran yang luas, bersifat menular hingga berdampak buruk hingga menyebabkan kematian. Saat ini kita bersyukur telah melewati satu pandemi tersebut, namun ada sebuah fenomena pandemi baru hadir di sekitar kita saat ini melalui dimensi digital. Fenomena tersebut adalah judi online atau disingkat judol yang memiliki dampak negatif yang besar.

Belum lama ini Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menjauhi judol. Ia menegaskan bahwa judol dapat merugikan pribadi, keluarga, masyarakat hingga negara. Pemerintah juga telah menyiapkan langkah-langkah mengatasi judol yang semakin hari semakin merugikan dengan dampak yang luas. Langkah tersebut mulai dari pembentukan satgas pemberantas judol hingga iklan layanan masyarakat berupa baliho di pinggir jalan tentang bahaya judol.

Lantas, mengapa judol dianggap sebuah fenomena? bukankah judi sudah ada sejak dahulu? dan mengapa pemerintah melakukan penanganan khusus?, untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita lihat data tentang judol terlebih dahulu. Mengutip dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi judol hingga tahun 2024 mencapai Rp600 triliun. Kemudian pemain judol yang teridentifikasi mencapai 3,2 juta orang dengan berbagai latar belakang pekerjaan, bahkan ada juga berstatus ibu rumah tangga dan mahasiswa. Kebanyakan pemain berasal dari pendapatan menengah ke bawah. Tren jumlah pemain tersebut terus melonjak hingga 8.136,77% pada 5 tahun terakhir. Uang triliunan tadi juga mengalir ke luar negeri, artinya praktik ini sudah lintas negara. Kerugian bersifat pribadi juga memprihatinkan, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, kriminalitas, kesehatan mental hingga beberapa  kasus bunuh diri.

Berdasarkan data tersebut, judol memberikan kemudahan akses kepada segala kalangan dan para pemain merasa lebih aman memainkannya dibanding judi konvensional. Menurut salah satu mantan bandar judol yang beberapa kali diwawancarai oleh media mengatakan, selain diuntungkan mudahnya membuat platform judi berbentuk digital, juga menyematkan algoritma untuk mengatur kapan pemain itu menang dan kalah. Jangan sampai bandar mengalami rugi. Maka, tidak menutup kemungkinan, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) disematkan di dalamnya. Sistem akan membaca perilaku pemain dan mengambil keputusan secara otomatis. Beberapa jenis judi dikemas dalam bentuk game agar lebih seru dimainkan dan pemain tidak merasa sedang berjudi. Deposit uang juga dimudahkan dengan transfer rekening, pulsa hingga mata uang kripto. Tidak hanya berhenti di situ, para tim peretas keamanan dari pihak judol gencar melakukan peretasan ke website-website milik pemerintah atau lembaga pendidikan untuk menyematkan link dengan sebutan populer “slot gacor” agar tidak mudah diblokir karena bersembunyi dibalik domain web pemerintahan atau lembaga pendidikan. Dari sisi pemasaran juga menerapkan digital marketing yang masif. Mulai dari memasang iklan di web dan media sosial ternama, mengirim email marketing, membuat grup telekomunikasi hingga mengiklankan melalui pesohor media sosial atau sering disebut endorse.

Di satu sisi, kita jangan hanya fokus ke pemain judol saja, namun beberapa warga negara Indonesia juga terlibat membangun judol tersebut. Ada yang berperan menjadi programmer, admin, peretas keamanan, digital marketer dan lainnya. Artinya ini menjadi sebuah tugas bersama khususnya lembaga pendidikan untuk menghasilkan ahli teknologi yang memiliki integritas dan etika dalam mengembangkan teknologi. Arah pengembangan teknologi seharusnya untuk kemaslahatan umat manusia, jangan sampai  sebaliknya malah menimbulkan “wabah penyakit” baru. Maka, lembaga pendidikan harus bisa berkolaborasi untuk turut menghentikan fenomena pandemi digital ini.