Penulis: Rahmad Ramdhani, S.Kom.
Alumni Prodi Informatika UTDI September 2016
Saat ini bekerja sebagai:
System Analyst di Vector Indonesia, Kab. Sumbawa Barat Prov. NTB
Negara-negara di dunia saat ini sedang ramai bergerak menyambut era Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Amerika Serikat yang menjadi rumah bagi perusahaan semikonduktor besar seperti Nvidia dan Qualcomm menjadi salah satu yang terdepan bergerak menyambut era baru ini. Begitu pula China dengan Huawei-nya. Tak ketinggalan negara Asia seperti India, Uni Emirat Arab hingga negara tetangga, Singapura.
Singapura bergerak cepat mengatur regulasi dan membuat rancangan kebijakan untuk menghadapi tren AI di masa mendatang. Tak tanggung-tanggung, Singapura baru-baru ini menggelontorkan dana senilai 11,6 triliun rupiah untuk proyek AI dan bercita-cita menjadi kekuatan AI dunia menyaingi negara maju lainnya.
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?
Indonesia saat ini masih fokus mengatur regulasi agar kehadiran AI tak mendatangkan hal negatif untuk bangsa. Karena suka atau tidak, AI datang membawa banyak hal positif dan banyak pula hal negatif. Pemimpin baru Indonesia paham betul dengan bonus demografi yang akan dimiliki Indonesia di tahun 2045, mereka melihat kekuatan pemuda atau pekerja usia produktif akan sangat berperan penting dalam mewujudkan perkembangan teknologi Indonesia ke depan, dalam hal ini di bidang AI.
Kita memang belum setara level negara maju seperti Amerika Serikat ataupun China yang memiliki semua hal yang dibutuhkan dari hulu hingga hilir untuk menopang pergerakan negara menghadapi tren AI. Tapi kita memiliki satu kekuatan yang tidak kalah baiknya dengan negara-negara lain: sumber daya manusia (SDM). Tak perlu menunggu 2045, saat ini sudah bermunculan banyak perusahaan rintisan atau startup yang sudah mulai bergerak melihat peluang yang dibawa oleh kehadiran AI. Sebut saja Kata.AI, MASA AI, Plebo dan masih banyak nama lain yang bergerak di bidangnya masing-masing dan menyediakan layanan berbasis AI sebagai senjata utamanya. Jadi sebetulnya Indonesia tidak memulai dari nol besar untuk masuk ke era AI dan diharapkan di era emas 2045 yang masih sekitar 20 tahun lagi diharapkan kita sudah ada di puncak kejayaan teknologi, khususnya dalam bidang AI.
Pemerintah harus lebih lagi menunjukkan dukungan kepada mereka yang sudah terjun ke dunia AI. Selain itu, kerjasama dengan negara yang sudah lebih dahulu maju dan menjadi pemain besar dalam bidang ini sangat diperlukan, mengingat mereka sudah memiliki rantai pasokan yang lengkap dari hulu sampai hilir dunia AI sehingga dapat menjadi kesempatan bagi talenta-talenta Indonesia untuk belajar.
Jika semua berjalan dengan baik, bukan tak mungkin di masa depan Indonesia juga akan menjadi pemain besar di bidang AI dan berdiri menjadi pesaing berat negara-negara yang sudah lebih dahulu memulai. Langkah Indonesia masih panjang dan saat ini kita cukup jauh tertinggal dari negara-negara maju, namun bukankah langkah panjang selalu dimulai dari langkah pertama?
INDONESIA PERLU WASPADA
SDM yang menjadi kekuatan utama Indonesia justru dapat menjadi bumerang jika tidak benar-benar teliti memanfaatkan peluang dan keunggulan. Selain mempersiapkan rencana terbaik, perlu juga dipikirkan hal yang justru dapat menjadi petaka. Jika kita lama bergerak di saat negara lain sudah jauh di depan, maka bukan tidak mungkin kita dan generasi penerus kita yang diharapkan menjadi generasi emas justru hanya akan menjadi “pasar” dan pengguna produk AI dari negara lain tanpa menjadi “pemain” dalam era AI. Kegagalan bukit algoritma yang sempat digadang-gadang menjadi Silicon Valley-nya Indonesia harusnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia bahwa hanya bermimpi besar tidaklah cukup tanpa aksi nyata untuk mencapai kemajuan dan kemandirian yang diinginkan.