Terbitan

Masa Depan Pekerjaan di Era AI: Apakah Talenta Indonesia Siap?

  • Penerbit KEDAULATAN RAKYAT
  • Tanggal Terbitan 31-10-2025
Masa Depan Pekerjaan di Era AI: Apakah Talenta Indonesia Siap?

Masa Depan Pekerjaan di Era AI: Apakah Talenta Indonesia Siap?

Oleh : Edy Prayitno, S.Kom., M.Eng.
Dosen Prodi : Sistem Informasi Akuntansi Universitas Teknologi Digital Indonesia
Bidang Keminatan : Sistem Informasi, E-Commerce

Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah wajah dunia kerja dengan pesat. Di Indonesia, pada 2025, sebanyak 92% pekerja berbasis pengetahuan memanfaatkan AI generatif untuk menyusun laporan, menganalisa data, atau menghasilkan ide kreatif, melampaui rata-rata global sebesar 75%. Namun, di balik kemajuan ini, ancaman nyata muncul: World Economic Forum memperkirakan 23 juta pekerjaan tradisional di Indonesia berpotensi hilang akibat otomatisasi pada 2030. Pertanyaan besarnya adalah: sejauh mana talenta Indonesia siap menghadapi revolusi teknologi ini?

AI menawarkan peluang sekaligus tantangan. Tugas-tugas rutin, seperti administrasi, layanan pelanggan, atau operasioanal manufaktur, kini rentan digantikan oleh sistem AI yang bekerja tanpa henti. Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), tanpa adaptasi cepat, sebanyak 85 juta pekerjaan global, termasuk di Indonesia, terancam hilang. Seorang staf administrasi di Jakarta, misalnya, mungkin mendapati tugasnya dialihkan ke perangkat lunak cerdas. Begitu pula, seorang pekerja lepas di bidang desain grafis di Bandung kini bersaing dengan alat AI generatif yang mampu menghasilkan logo atau ilustrasi dalam hitungan detik.

Namun, AI juga membuka pintu peluang baru. Data LinkedIn menunjukkan permintaan akan profesi seperti insinyur AI dan analis data meningkiat 35% setiap tahun di Indonesia. Di Yogyakarta, pelaku UMKM memanfaatkan AI untuk memprediksi persediaan barang, meningkatkan efisiensi usaha. Di Surabaya, generasi muda mengembangkan aplikasi sederhana dengan bantuan alat AI, tanpa keahlian pemrograman mendalam. Bahkan, di sektor pendidikan, platform berbasis AI membantu guru di daerah terpencil menyusun materi ajar interaktif, sementara di bidang kesehatan, AI mendukung dokter di klinik kecil untuk mendiagnosis penyakit lebih akurat. Ini menunjukkan potensi AI untuk menjangkau berbagai lapisan masyarakat.

Meski begitu, tantangan besar masih menghadang. Sekitar 65% pekerjaan pada 2030 diperkirakan membutuhkan keahlian AI, tetapi Indoensia masih terkendala oleh infrastruktur digital yang tidak merata dan akses pendidikan teknologi yang terbatas. Ketimpangan ini menciptakan jurang antar pekerja di perkotaan, yang lebih mudah mengakses pelatihan, dan mereka di daerah terpencil yang sering kali tertinggal.

Harapan muncul dari rencana pemerintah melalui Peraturan Presiden tentang AI, yang ditargetkan selesai pada akhir 2025. Regulasi ini akan mengatur etik dan keamanan AI, sekaligus mendorong program peningkatan keterampilan secara masif. Salah satu wujudnya adalah Digital Talent Scholarship dari Kementrian Komunikasi dan Informatika, yang tahun ini melatih 100 ribu talenta untuk menguasai AI dan ilmu data (data science). Kolaborasi dengan sektor swasta, seperti inisiatif elevAIte dari Microsoft yang menargetkan satu juta talenta di Asia Tenggara, juga memperkuat upaya ini. Regulasi yang inklusif dapat memastikan AI menjadi alat pemberdaya, baik bagi pelaku usaha kecil di pasar tradisional, startup teknologi di kota besar, maupun tenaga pendidik di pelosok.

Bagi generasi muda yang ingin unggul di era AI, pendidikan formal di bidang teknologi digital menjadi langkah strategis. Universitas Teknologi Digital Indonesia (UTDI) menawarkan program studi yang selaras dengan kebutuhan masa depan. Dengan kurikulum yang menggabungkan keahlian teknis, inovasi, dan pemahaamn etika teknologi, UTDI mempersiapkan talenta untuk tidak hanya menguasai AI, tetapi juga menciptakan solusi yang relevan bagia Indonesia. Memilih UTDI berarti berinvestasi pada masa depan, menjadikan generasi muda sebagai penggerak kemajuan bangsa di era digital yang penuh peluang.