Terbitan

Dibalik Viralitas: Mengupas Dinamika Digital Lintas Budaya

  • Penerbit KEDAULATAN RAKYAT
  • Tanggal Terbitan 03-01-2025
Dibalik Viralitas: Mengupas Dinamika Digital Lintas Budaya

Dibalik Viralitas: Mengupas Dinamika Digital Lintas Budaya

Oleh : Nafisatul Lutfi, S.S., M.A.

Dosen Prodi : Sistem Informasi Universitas Teknologi Digital Indonesia

Bidang Keminatan Penulis : Bahasa dan Sastra Inggris, Pengkajian Amerika, TESOL, Sociolinguistic


Fenomena viral menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia digital. Istilah ini berasal dari kata "virus," menggambarkan penyebaran konten yang sangat cepat dari satu individu ke individu lainnya melalui platform daring seperti media sosial. Namun, apa yang membuat sebuah konten menjadi viral? Bagaimana peran budaya dan faktor sosial dalam proses ini?

Emosi dan Viralitas dalam Komunikasi Digital

Dalam kajian sosiolinguistik, fenomena viral berakar pada dinamika sosial dan emosional dalam komunikasi digital. Konten yang viral umumnya memuat elemen emosional yang kuat seperti humor, keharuan, atau kontroversi yang memicu reaksi intens. Sebuah penelitian dalam Digital Culture and Society menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan alami untuk berbagi emosi dan cerita sebagai bentuk koneksi sosial.

Konten viral kerap diwujudkan dalam meme lucu, video menghibur, atau unggahan kontroversial. Studi dari Journal of Computer-Mediated Communication menunjukkan bahwa interaksi sosial yang kuat di media sosial dapat meningkatkan kemungkinan sebuah konten untuk menjadi viral hingga 25%. Emoji, GIF, dan tagar juga memperkaya cara komunikasi, membuat konten lebih mudah tersebar.

Peran Budaya dalam Viralitas

   Konten viral tidak bersifat universal karena peran budaya sangat memengaruhi penerimaannya. Apa yang viral di Indonesia belum tentu memiliki dampak serupa di negara lain, seperti Amerika Serikat.
      Di Indonesia, yang memiliki budaya kolektivisme, konten viral sering mencerminkan kebersamaan dan solidaritas. Contohnya adalah kasus Sunhaji, penjual es teh manis yang viral setelah mendapat kritik dari tokoh publik. Kasus ini memicu simpati masyarakat hingga berita tersebut dibaca jutaan kali hanya dalam 24 jam. Selain itu, kampanye penggalangan dana untuk korban bencana kerap menjadi viral karena mencerminkan semangat gotong royong. Penggunaan bahasa sehari-hari, campuran bahasa Indonesia dan bahasa gaul, turut memperkuat kedekatan emosional dengan audiens.

Sementara itu, di Amerika Serikat, yang lebih mengutamakan individualisme, konten viral cenderung menonjolkan pencapaian pribadi atau kreativitas individu. Video yang memperlihatkan karya seni unik atau solusi cerdas untuk masalah sehari-hari sering mendapatkan perhatian besar. Menurut laporan Pew Research Center, 74% orang dewasa di AS menikmati konten yang menampilkan pencapaian pribadi, jauh lebih tinggi dibandingkan negara dengan budaya kolektivisme.

Humor juga berperan penting namun memiliki karakteristik yang berbeda. Di Indonesia, humor biasanya sederhana, kontekstual, dan mudah dipahami, sedangkan di AS, humor sering berbasis referensi budaya atau pop culture.

Bahasa dan Viralitas

    Bahasa memainkan peran penting dalam viralitas, karena bahasa tidak hanya mencerminkan budaya tetapi juga membentuk pola interaksi sosial. Di Indonesia, konten dengan bahasa santai, seperti penggunaan bahasa gaul atau campuran bahasa daerah, cenderung lebih mudah diterima dan dibagikan. Misalnya, istilah "receh," yang menggambarkan humor sederhana namun menghibur, sering muncul dalam konten viral.

Studi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia menyatakan bahwa 65% pengguna media sosial di Indonesia lebih tertarik berinteraksi dengan konten yang menggunakan bahasa sehari-hari. Sebaliknya, di Amerika Serikat, penggunaan slang seperti "lit" atau "on fleek" mencerminkan kreativitas linguistik sekaligus identitas kelompok tertentu. Tagar juga berfungsi penting: di Indonesia, tagar cenderung panjang dan humoris, sedangkan di AS lebih singkat dan langsung. Penelitian oleh Scott Golder dalam Science menyebutkan bahwa tagar membantu strukturisasi percakapan daring, membuat pesan lebih fokus dan cepat menyebar.

Teknologi dan Algoritma dalam Penyebaran Konten

Peran teknologi, terutama algoritma media sosial, tidak bisa diabaikan dalam fenomena viral. Platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter menggunakan algoritma berbasis interaksi pengguna, seperti jumlah likes, shares, dan komentar, untuk menyebarkan konten. Namun, interaksi ini tetap dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang berlaku.

Eli Pariser dalam bukunya The Filter Bubble menjelaskan bahwa algoritma cenderung memperkuat bias budaya, membuat konten tertentu lebih mungkin viral di komunitas tertentu. Laporan dari Statista menunjukkan bahwa 63% video viral di TikTok dan Instagram berawal dari interaksi intens audiens yang memiliki minat budaya yang sama.

Fenomena viral dipengaruhi oleh emosi, budaya, bahasa, dan teknologi. Pemahaman ini membantu kita lebih bijak dalam menciptakan dan merespons konten viral di era digital. Bagi Anda yang ingin mendalami fenomena ini, Universitas Teknologi Digital Indonesia (UTDI) menawarkan program studi berkualitas untuk memahami dinamika dunia digital dan menjadi bagian dari perubahan.